Arif Abdullah. Powered by Blogger.

Wednesday 16 November 2016

Setan dilantik sebagai Khalifah.



Demikian pun kemunduran diinformasikan sebagai kemajuan.
Kehancuran di-iman-kan sebagai sukses.
Kedunguan diyakinkan sebagai kecanggihan.
Kebodohan dilabeli kepandaian.
Kehinaan dikibarkan sebagai kemuliaan.
Dunia sebagai akhirat.
Neraka sebagai sorga.
Bahkan lebih membumi lagi: hewan sebagai manusia.
Setan dilantik sebagai Khalifah.
Kemunafikan disebut moderat.
Perampokan disamarkan menjadi Demokrasi.
Cuci otak diperkenalkan sebagai Universitas.
Percetakan disebut Sekolahan.
Sekularisme disubversikan ke dalam terapan Agama.
Keserakahan disebut liberalisme.
Fir’aunisme diganti nama egalitarianisme.
Egosentrisme dibungkus kemerdekaan berbicara.
Keteguhan iman dikasih merk keras kepala.
Pemeliharaan martabat disebut konservatisme.
Berpikir mendasar dikutuk sebagai fundamentalisme.
Ayam berlaku sebagai ayam dikatakan rasisme.
Itik tak mau jadi bebek dibilang diskriminasi.
Kepatuhan kepada sunnah diklaim sempalan.
Mencari kedalaman hidup dianggap kesesatan.
Kesesatan disebut pengetahuan.
Kecurangan diajarkan sebagai ilmu.
Tipu muslihat dibukukan sebagai hukum.
Keserakahan disebut kesejahteraan.
Kerakusan dihadirkan sebagai kemakmuran.
Keadilan dijadikan alat utama penipuan.
Buruh dilantik sebagai tukang perintah.
Perusahaan diumumkan sebagai Negara….



-cak nun-
Published: By: hahhs - 19:36

Wednesday 9 November 2016

SURAT PENGHABISAN



Kepada segala kehidupan ini aku berseru….
Kepada DIAlah aku mengadu….
Kepada cintamu aku berlalu…
Dan kepada pena ini aku beri tahu….
Sebuah Pengharapan Cinta dan Surat Penghabisanku….
Padamu…. Kuhaturkan kalimat-kalimat yang ku rangkai di atas pembaringan….
 Pembaringan yang menjadi saksi kematianku….
Kematian yang menuju ke abadian….

Kutuliskan surat ini di penghujung umurku, kala malam itu, ditemani sang Rembulan dan malaikat maut yang menantiku di ujung malam. Bacalah dengan sabar. Aku menantimu.. Aku sangat berharap dapat mengatakan kata ini langsung kepadamu. Tapi aku malu. Aku malu padamu. Aku ingin kau tahu, bahwa aku seorang wanita. Manusia yang pada hakikatnya mempunyai rasa malu yang berlebihan. Manusia yang bisa saja malu pada apa yang dia ucapkan. Pendusta, bahkan pembunuh terkeji pun mempunyai rasa malu.. 

Tapi ingat ! AKU BUKANLAH SEORANG PENDUSTA ATAUPUN PEMBUNUH..!!

Aku hanyalah seorang wanita pemalu. Manusia yang tak pernah sanggup melihatmu. Mengangkat kepalaku dihadapanmu. Menatapmu. Aku tak sanggup. Karena aku hanyalah wanita pemalu, yang dengan sadar menuangkan selusin kalimat diatas kertas. Tapi aku bukan pendusta. Aku sungguh tak berdusta padamu. Dulu aku adalah seorang gadis ceria. Tak kubedakan mana perempuan dan laki-laki, semua sama. Dulu aku adalah gadis kecil berkepang dua yang senang sekali dengan boneka. Dulu aku adalah gadis kecil yang ingin sesuatu dan orang tua menurutinya. Namun terkadang mereka lupa atau entah sengaja melupa, dengan semua janji-janji. Janji yang pernah mereka ucapkan di atas awan. Di atas awan kedamaian. Janji yang dulunya magis. Membuatku jatuh dalam kesetiaan. Satu persatu, perlahan….janji-janji itu pudar. Hilang bersama angin yang membawaku terbang ke dunia parodi. 

Namun ini bukan lelucon..!!
Inilah hidupku. Satu persatu mereka hilang. Terpisah, terpecah, namun janji kesetiaan masih ada dalam ingatanku.. Kembali padamu. Aku sungguh tak menyadari bahwa aku begitu mengagumimu. Yang ku tahu, semenjak aku mengenalmu 3 tahun yang lalu, aku merasa malu. Rasa itu diam-diam menjalar melalui setiap aliran darah yang merambat ke celah-celah hati. Bahkan sangat kurasa getarannya. Terkadang, aku dibakar rasa cemburu pada gadis-gadis lain. Mereka mendengar dan mendendangkan kata-kata cinta dan aku terus berharap agar aku bisa mengatakannya padamu. Tapi aku malu.

Sekali lagi, AKU MALU!. Dan rasa itu terus menjalar. Sekarang aku takut. Karena itu aku tak pernah mengatakannya. Rasanya aku tak sanggup bertemu denganmu lagi. Karena aku malu, juga takut. Aku takut akan selalu mengingatmu. Dan pada akhirnya, kutaruh harapan besar padamu. Dan bila aku berhadapan denganmu, dengan orang-orang yang kucintai, jiwaku akan semakin terguncang dan pasrah. Aku ingin membahagiakanmu. Tapi aku tak tau caranya. Pada suatu hari aku melihatmu. Aku merasa bahwa kau ingin sekali mengatakan kata-kata indah padaku. Aku rasa kau ingin mengatakan apa yang selama ini aku rasakan padamu. Namun aku juga berharap pada Sang Pemberi Cinta agar kata-kata itu tak keluar dari mulutmu. Aku ingin kau menuliskannya dalam bahasa rahasia, dalam bahasa lain, walaupun semua bahasa-bahasa yang kau tuliskan tidak bisa aku terima dengan hati yang luar biasa.

Aku pernah bermimpi, suatu hari kita di taman, sama-sama belajar banyak tentang hidup. Tertawa dan berbincang-bincang panjang lebar, namun tanpa makna sama sekali. Tak ada arti, bahkan warna. Begitupun tak ada rasa yang menjalar dihati. Namun sesungguhnya kita bukan sedang berbincang-bincang. Kita tidak berbicara, tidak belajar bersama-sama tentang hidup. Juga, tidak tertawa. Kita hanyalah orang bodoh. Orang yang tak tau harus berbuat apa, selain berbincang-bincang tanpa makna, nilai dan warna dalam sejarah mimpi. Kita hanya diam. Bicara dari hati ke hati. Dan yang bicara waktu itu adalah kota Paris. Bukan kita!! Aku tersadar. Mimpi…Ya, hanya mimpi. Terkadang aku menyesal, kenapa mimpi itu tak nyata? Tak ada makna? Mimpi itu hanyalah goresan-goresan kaca yang menelusup ke dalam jiwa. Hanya segores mimpi penebar luka. Aku lelah dengan kepura-puraan hidupku. Aku lelah mendengar nyanyian burung-burung yang sangat merdu, namun begitu menyayat hati. Aku lelah… menahan semua ini.

Aku lelah melihat diriku yang tak pernah sanggup mengikuti kemana arah hatiku pergi. Aku ingin lepas dari belenggu yang mengikatku. Sehingga aku dapat terbang bebas mengitari samudra dan tentunya ber-reinkarnasi menjadi apa yang aku inginkan. Bila saja itu memang terjadi, aku ingin menjadi sesuatu yang berharga bagi hidupmu. Bagi setiap desah nafasmu. Aku ingin menjadi jantungmu. Ya, jantung yang setiap detik, menit, jam, hari, dan setiap saat yang akan selalu berdetak dalam tubuhmu. Dan bila aku mati, kau juga akan mati. Kita berdua sama-sama mati…hahaha!. Dan ingatlah!!! Aku benar-benar akan mati dalam waktu dekat ini. Dan bila aku mati, aku pasti tak akan berdusta lagi. Tak akan mengikat suaraku. Apa gunanya aku berdusta?? Toh, aku sudah menuju dunia lain.






Published: By: hahhs - 21:03

Saturday 8 August 2015

kepada hati yang sedang berjihad melawan trauma.


Akan tiba waktumu
Ketika kelak kau hadir
Pada acara yang meriah,
bernama; pernikahan.

Sementara kau menyaksikan dgn segenap hati
Bahwa keberadaanmu sudah tak begitu berarti.
Diatas kursi tamu kau duduk dengan nafasmu yang mulai rumit dan tersengal.

Selamat menyaksikan kebenaran sedang dirayakan...
adalah hari dimana, ketika kenangmu telah lepas dari keningnya.

disekitar matamu,
butiran bening mulai melompat kecil,
satu demi satu,
kau mulai basah oleh kisah
yang pernah singgah di kening dan di dagunya.
Kisah yang tak pernah ingin kau baca di buku manapun.
Tak ingin kau dengar pada setiap lagu yg kau putar.

Tak perlu menunggu lama,
pada jeda yang tak pernah kau minta,
kenangan hadir kembali di kepalamu
Memenggal bagian penting dalam hidupmu.
Tawanya,
Manjanya
Tangisnya
Rengeknya
Dan semua-semua yg lebih dari kata,
mengikat tubuhmu untuk DIAM.

Butir matamu pecah
Jiwamu terbelah

Kau mulai tuli ketika mendengar namanya disebut : sekali lagi.

Cho, 7 agt 2015.

Published: By: hahhs - 19:22

Sunday 2 November 2014

Oidipus 1


Kita pernah melewatinya, dengan sedikit tergesa: jalan tanah menuju pekuburan itu. Aku Oidipus dan kau Antigone. Aku buta dan kau terlalu muda.

“Ada angin berayun di atas ban bekas di tepi jalan. Di seberangnya, pagar bata setengah badan,” katamu, seperti biasa, menjadi sepasang mataku.

Aku mencium bau lumut, Anakku. Aku mencium bau kematian yang langu.

“Tak ada yang layak kuceritakan: pagar lumutan, rumah-rumah kosong. Bentangan sawah di kejauhan. Kau pernah melihat segalanya, Papa, sebelum peniti itu menyudahi matamu. Apakah ini tempat yang dijanjikan. Di mana kita akan diam dan menetap?”

Bukan. Kita hanya pernah melewatinya. Entah kapan. Kau Oidipus aku Antigone. Aku bertanya, siapa menaruh bandulan dari ban itu di sana, di pohon angsana. Lalu lumut, kenapa ia begitu setia. Melekat pada pagar di samping kita.

Aku ingat kita pernah bertukar rupa. Di jalan tanah yang sama.

Published: By: hahhs - 22:15

Friday 24 October 2014

Petikan puisi Pablo Neruda




(Penerjemah: Dina Oktaviani)

Cintaku, betapa panjang jalan menuju sebuah ciuman,
betapa sunyi pengembaraan menujumu!
Bersama hujan kita ikuti kereta-kereta itu meluncur.
Tak ada fajar di Taltal, tak juga musim semi.
Tetapi kau dan aku, cintaku, kita bersama,
dari pakaian hingga akar kita bersama,
bersama di musim gugur, di dalam air, di pangkal paha,
hingga kita benar-benar bersama, hanya kau, hanya aku.
Memikirkan upaya sungai yang membawa
begitu banyak batu, delta perairan Boroa,
memikirkan kita yang terpisah oleh kereta dan bangsa
kau dan aku hanya harus saling mencintai,
dengan seluruh kebingungan, para lelaki dan perempuan,
bumi yang menanam pohon-pohon anyelir dan merekahkan mereka.
Published: By: hahhs - 10:54

Thursday 25 September 2014

APA YANG BERHARGA DARI PUISIKU


Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah karena belum membayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
Jika nasi harus dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
Kalau bis kota lebih murah siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisikuKalau ibu dijiret utang?
Kalau tetangga dijeret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau kami terdesak mendirikan rumah
Di tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin mahal
Kami tak mampu membeli
Salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di rumah
Karena rumah sakit yang mahal?
Apa yang berharga dari puisiku
Yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan
Yang menjiret kami?

Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi memberi keplokan
Apa yang telah kuberikan 
Apa yang telah kuberikan?

Wiji TukulSemarang, 6 maret 86

Published: By: hahhs - 09:57

Wednesday 24 September 2014

Melalui hari demi hari



Menghirup apa saja
diatas pasir merah

kawan, sekali waktu kukunjungi lautmu
di selatan pohon keramat dini hari
mereka menamainya: kota jogja
                            -kota raja-raja

kukatakan lain: kota ini adalah kota para penyair!

Jogja
dilautmu kusebut nama-nama kalian bersama tumpukan angin
serupa tubuh
berdetak menuju jantung
bergulir menuju detik

serupa tetes darah
berenang di genangan puisi
menuju akhir kata-kata

pada hari itu
diatas kakimu ini aku pernah bersumpah, kawan
3 tahun yang lalu
kutundukkan kepalaku
lantaran tak ingin kalah bertaruh

dengan pamanku
kakak-kakakku
dan orang-orang yang ahli mencibir
di jantung pulau yang aku cintai hingga saat ini

Pulau Garam..



Jogja
Published: By: hahhs - 19:25

Friday 25 October 2013

BUNGA DAN TEMBOK



Seumpama bunga 
Kami adalah bunga yang tak 
Kau hendaki tumbuh 
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah 

Seumpama bunga 
Kami adalah bunga yang tak 
Kau kehendaki adanya 
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi 

Seumpama bunga 
Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri 

Jika kami bunga 
Engkau adalah tembok itu 
Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji 
Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur! 
Dalam keyakinan kami 
Di manapun–tirani harus tumbang! 

Solo, 1987
Published: By: hahhs - 14:53

Tuesday 27 August 2013

Sajak Suara


sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Published: By: hahhs - 14:46

Friday 10 May 2013

Putih Rambut Ibu




Ibu, ini benar-benar pahit, dan benar adanya.
suatu hari, di bawah pohon kenangan kota jogja yg aku cintai,
aku pernah menangis karena puisi yg kubuat sendiri,
untukmu, Bu.
untuk Ibu,
tidak untuk merah rambut Ayah.
juga tidak untuk nasib yang ibu rebus di belakang rumah setiap sepi menjelang sunyi.
bukan,
ini hanya untukmu, Bu.
dari seorang anak yg pertamakali pulas di kamar kecil dalam rahimmu.
dan aku masih ingat semua itu, Bu.
degan pakaian seadanya:
bajuku merah terbuat dari darah,
celanaku berlendir, tebuat dari gumpalan milik Ayah.
engkau masih ingat, Bu?
detik dimana hidup kita berada di tengah-tengah sekarat.
antara mati suri atau kita akan tamat.
sekuat tenaga kau kerahkan seluruh keringatmu,
dan merka khidmat berbaris,
menungguku, Bu..
menungguku..
menunggu bocah celana,
menunggu kemerdekaan nasib kita,

Pending dulu, ada yg basah,...:')

 Jogja, dengan ribuan kenang yg telah hilang.
Published: By: hahhs - 14:25

Wednesday 8 May 2013

Galaksi Cinta



Jika engkau benar tau, bagaimana cara menyeretnya keluar dari isi kepalamu? seluruhnya dan tanpa sisa. kita dapat membersihkan semua isi rumah, isi kamar, rak bukumu atau apapun di dunia ini, tetapi tidak untuk kenangan. engkau tak dapat membersihkannya. dia adalah sebuah galaksi yang akan terus berputar tanpa ingin temukan akhir zaman.

bersumpahlah demi yang di ajarkan Kitabmu, dan demi apapun yang di sabdakan Kanjeng Nabi. jika engkau tetap cinta engkau bebas dari sumpah, namun jika engkau dusta, sebegini rumitkah hidupmu? berpu-pura mati kemudian berharap akan hidup di masa reinkarnasi pertamakali.

kepada kenangan:
engkau memang tak lagi bertatap mata, namun dinding semesta justru semakin tebal tanpa cela, yang menjadikan gerak kalian sempit, berputar-putar di satu atap langit yang sama. Dunia.

lalu apa bedanya engkau kembali atau pergi sejauh-jauhnya? sebab, dunia yang kau diami sekarang dan nanti tetap saja berisi dia didalamnya. berisi kenangan. berisi tempat, kisah yang telah mempertemukan kalian untuk seumur hidup namun engkau pecahkan menjadi terbelah, terpisah. dua. pada jeda tersebut, dunia mulai lelah untuk mengepung seluruh air matamu. maka saranku, menangislah!

Cintamu telah membentuk putaran galaksi yang terus mengelilingi ruang kenangan hingga mati. dia akan selalu ada disana, di galaksi cinta.
Published: By: hahhs - 01:26

Tuesday 7 May 2013

Universitas Almamater Warna Tak Perawan

 HIDUP MAHASISWA!
Adalah malam pergantian tahun baru mahasiswa,
kita singsingkan lengan almamater merahmu, kawan! mel de ka!

Di penghujung harga diri.
akibat kamar kost tak terkunci rasa tahan.
detik terompet menuggu saatnya tiba.
seiring gemerlap bumi berserakan di langit.
kumpulan warna bertaburan di angkasa.
menjerit, memekik, tandanya telah tiba!
sebentarlagi almamater merah pun akan menjadi warna kebanggaan Indonesia.

bersiaplah!
mendengar desah terompet pergantian tahun!

lihat ke arah renta disana..
kata kakek penjual trompet itu,
pada jeda yg sama,
wanita yg bernama 2011 resmi akn menjadi malam yg tak perawan.
malang, jogja, surabaya, jakarta bandung dan kerabatnya..
sekawanan mahasiswa cap korek api sedang membakar birahi.
bukan lagi di depan istana negeri.
perpaduan hasrat menjilati nafsu.
merangkak setengah mengangkangkan selangkang ke sudut -sensor-.
seluruh bumi merayakan.
aku meniup terompet diam-diam.
kawanku tergelak menertawaiku,
sembari Onani dia bilang: "Ah..hanya noda merah yg keluar dari balik celana, sudah biasa!"
sudah biasa? aku berpura-pura tidak tau.
"itu warna darah yg ingin menyaksikan pergantian tahun, hahaha!!!" beberapa detik kemudian menyusul warna putih dari balik kedua tangan temanku itu.
berkibarlah merah putih!
merah adalah darah perawan.
putih kebanggan para lelaki.

Caco Aa,
01.01.12.
Malang, Jawa Timur.
Published: By: hahhs - 00:28

Sunday 5 May 2013

Celanaku, Berkibarlah!





Sewaktu aku masih berumur biji beras,
Ayah selalu mengajariku membuat bendera dari celana anak-anaknya,
kemudian celana tersebut dberi warna seadanya:
warna merah dari rambut Ayah,
putih rambut Ibu,
bendera itu lalu di jahit pelan dari tetesan keringat kami yang di keringkan semalam suntuk,
begini dahulu nasibku, nasib Ayah, nasib negeriku..

dahulu juga,
setelah sehari penuh punggung Ayah di duduki matahari,
Ayah akan pulang dengan senyum sedang,
sudah biasa jika setiap pulangnya terkadang aku melihat ada air kecil yg mengintip di balik mata Ibu,
dan kaki Ayah yang kian berkarat adalah nikmat bagi bunda tercinta,
sebab, Ibu akan membersihkan semua luka Ayah dengan air matanya..

"Nak, sini ikut Ayah" ajak beliau ketika aku hendak merantau,
dan ini yang terjadi,
Ayah sering mengajakku menjemur nasib beliau dan mimpi kami,
setiap malam gulita aku dan Ayah mencuci nasib dan mimpi itu di sumur belakang rumah,
lalu kami menjemurnya ketika pagi menjelang siang,
"Nak, jika kelak kau sudah besar buatlah negeri sendiri" wasiat Ayah.
"baiklah Ayah, demi Ayah" jawabku begitu semangat, dan sesuatu yang basah perlahan pamit dari kedua mata.

3 tahun setelah aku besar dan meraih mimpi di kota seni,
aku pulang dengan senyum seluas negeriku,
aku peluk nasib yang masih menempel di tubuh Ayah.
Ayah diam saja, merah rambutnya dan air matanya sudah tak ada entah kemana.
"Ayah, mimpiku sudah kuraih, dan aku sudah punya negeri sendiri, janjiku pada Ayah" tetap kupeluk tubuh yang kian melelh itu.
ayah masih diam saja.
"Ayah, kenapa?"
"Ayah bangga" air mata Ayah menari-nari "tinggalkan negeri busuk ini, dan bawa celana Ayah"
---
Kini Aku dan Ayah berada di negeri yang berbeda, Ayah di Indonesia dan aku di negeri celana. sebuah negeri yang indah, tanpa dusta, tanpa cela, tanpa penguasa, tanpa tipu daya, tak ada rakyat puisi yang kelaparan disni. 
Mel de ka!

Jogja, Condong Catur.
Published: By: hahhs - 11:05