Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
"Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya."
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kubilang saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."
"Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, Yah.
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
"Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya."
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kubilang saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."
"Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, Yah.
About hahhs
hari ini kau tidak boleh takut atau kelak 30 tahun lagi, ketika kau terbaring lemah di rumah sakit hari itu kau baru menyadari dan berkata "andai dulu aku tidak takut mungkin hidupku akan berubah".
0 comments:
Post a Comment