Arif Abdullah. Powered by Blogger.

Tuesday 1 January 2013

Tag:

Pesan dari Ayah

Datang menjelang petang, aku tercengang melihat
Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam
di bawah pohon mangga di belakang rumah.
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian.

“Jangan ganggu suamiku,” Ibu cepat-cepat
meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar
menulis dan mengirim pesan untuk Ibu.
Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.”

Ketika pamit hendak kembali ke Jakarta,
aku sempat mohon kepada Ayah dan Bunda
agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar
mengabarkan keadaan, supaya pikiranku tenang.

Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam
telepon genggamku terkejut mendapat kiriman
pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin .”

Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:
“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon mangga
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!”

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon mangga itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu

(JP)

About hahhs

hari ini kau tidak boleh takut atau kelak 30 tahun lagi, ketika kau terbaring lemah di rumah sakit hari itu kau baru menyadari dan berkata "andai dulu aku tidak takut mungkin hidupku akan berubah".

0 comments:

Post a Comment